Empat Sekawan 1
Sore itu aku ingin sekali naik sepeda keliling desa untuk menikmati udara segar dan ingin saja untuk melihat-lihat sekitar. Entah apa yang ada dipikiranku saat itu, padahal hari sudah hampir gelap dan agak mendung. Tapi dengan santainya seperti cenayang aku bilang,
“Ini
mah cuma mendung, gak bakal hujan gak.”
Tanpa
persiapan jas hujan atau air minum aku langsung saja mengayuh sepedaku
berkeliling desa. Tengok kanan-kiri memandang hal-hal yang seru sekali untuk
dilihat, seperti seorang kakek yang sedang mengobrol dengan nenek, anak kecil
yang berlarian karena dikejar temannya, sampai melihat seekor induk burung yang
sedang memberi makan anaknya. Yah, dan bagiku itu bukan hanya sebuah
pemandangan tapi bisa juga sebagai pembelajaran. Pembelajaran bahwa kita bisa
bahagia dengan hal-hal yang sederhana, bahwa kita hanya butuh orang-orang yang
selalu ada untuk kita.
“Itu
bentuk kasih sayang, itu bentuk cinta.” tiba-tiba segerombol bunga pukul empat
mengagetkanku dengan teriakan mereka.
Ya,
memang ini waktunya bunga itu untuk bangun dari mimpinya. Langsung aku berhenti
sejenak dan kuhampiri mereka.
“Kenapa
tiba-tiba kalian berbicara seperti itu kepadaku ?”
“Karena
kami tahu kamu sedang memperhatikan mereka-mereka itu, dan bagi kami mereka itu
cinta, mereka itu kasih sayang.”
“Kok
bisa begitu ?”
“Kamu
lihat sepasang kakek nenek itu ? Setiap pagi mereka menyirami kami dan mereka
selalu tersenyum saat melakukan itu. Itu cinta, itu kasih sayang.”
“Lalu
?”
“Kau
lihat anak-anak kecil itu ? Mereka selalu gembira ketika melihat kami mucul di
sore hari, mereka sangat senang melihat kami. Itu cinta, itu kasih sayang.”
“Lalu
?”
“Kau
pasti tahu induk burung di atas pohon mangga itu ? Dia selalu menemani kami
bercerita tentang apapun, sampai akhirnya kami pergi tidur lagi. Itu cinta, itu
kasih sayang.”
“Jadi
cinta itu apa ? Kasih sayang juga apa ?”
“Menurutmu
bagaimana ?”
“Kan
aku tanya ke kalian ? Kenapa kalian balik menyakan itu kepadaku ?"
“Dengar
gadis muda, jaman sekarang apa yang kau pikirkan itulah kebenaran, mutlak bagi
diri sendiri.”
Mendengar
penjelasan bunga pukul empat sore yang menurutku tidak jelas itu, aku langsung
pergi meninggalkan mereka dan melanjutkan perjalananku. Tapi entah magis apa
yang mereka punya, aku justru terpikir tentang pertanyaan ‘apakah cinta itu ?
apa itu kasih sayang ?’.
“Apa
cinta itu seperti semangkuk bubur buatan Ibu ? Atau segelas teh manis hangat
untuk Ayah ?” pikiran-pikiran itu justru mengganggu perjalananku.
Ma sya Alloh, cerita yang menarik
BalasHapusTerima kasih Kak untuk dukungannya :)
Hapus