Senja Hari Ini
“Setiap
rasa yang ada itu bukan ingin kita, bahkan bukan hak kita.”
“Kalau
begitu kenapa dia harus ada. Kenapa dia harus ada jika nantinya hanya
menyisakan kehilangan ? Jika nantinya ada air mata setelahnya ?”
“Ya
dia harus ada. Begitu kata semesta, begitu cara kerjanya.”
Percakapanku dengan dia
berakhir di kalimat itu. Karena tidak ada yang bisa ku katakan lagi. Lebih
tepatnya aku tidak ingin berdebat dengan dia, karena buang-buang waktu saja
menurutku.
Apa yang bisa dikatakan
lagi oleh perempuan yang pernah kecewa atas perasaannya sendiri. Apa yang bisa
dilakukan oleh perempuan yang kecewa atas mimpi yang dia bangun sendiri. Sudah
tidak ada lagi yang tersisa. Selain ketakutan dan kehampaan.
Dulu ada masa dimana
impianku adalah memiliki sebuah mimpi seperti orang kebanyakan. Lucu memang,
ingin punya mimpi kok dijadikan sebuah impian.
Tapi memang begitu lah
adanya, karena pernah gagal, karena pernah melihat orang lain mengalami
kegagalan membuatku takut untuk punya sebuah harapan. Takut jika nanti
dikecewakan oleh harapan yang sudah dipersiapkan untuk menjadi kenyataan.
Ketakutan dan kecemasan
itu selalu hadir ketika aku baru saja memulai membuat impianku sendiri, membuat
apa yang ingin aku capai dan aku lakukan. Tapi kehadiran mereka langsung
menghapus semua susunan yang telah ku buat. Mereka menghilangkannya tanpa
bekas. Aku kembali hampa, kosong. Itu sebabnya, waktu itu impianku adalah
mempunyai mimpi agar ketika aku susun kembali daftar yang telah terhapus itu,
mereka tidak akan menghilangkannya dan akupun bisa punya harapan seperti
orang-orang di sekitar.
Sampai aku bertemu
dengan dia, sosok yang tidak pernah mengajariku dan tidak pernah memaksaku
untuk memulai harapan baru. Dia tidak pernah berkata ‘ayo kamu pasti bisa’, ‘masa
kamu kalah sama ketakutan yang sebenarnya hanya ada dalam kepalamu sendiri’.
Dia bahkan hanya memintaku untuk menerima semuanya, menerima kalau aku pernah
gagal, menerima bahwa tidak semua hal yang aku inginkan dapat tercapai. Dia
bahkan berkata kepadaku untuk menerima rasa sakit itu.
“Terima
rasa sakitnya. Kamu tahu tidak, ada hal indah yang justru terbentuk dari
tempaan yang luar biasa keras. Kamu pernah terpikir, berapa kali seekor burung
kecil harus terjatuh sampai akhirnya dia bisa terbang bebas di langit luas ?”
“Ya
itu memang sudah seharusnya. Burung kan memang terbang.”
“Tapi
kalau burung kecil memilih untuk tidak melanjutkan keinginannya setelah dia
merasakan jatuh yang pertama, bagaimana ?”
“Ya
dia bisa saja jadi burung yang tidak bisa terbang.”
“Itu
maksudku, apa yang kamu lihat sekarang dari keberhasilan orang lain mungkin
saja dibaliknya ada tempaan keras, ada jatuh berkali-kali, ada perjuangan, ada
ketakutan dan kecemasan, bahkan ada rasa putus asa. Tapi mereka semua bisa
melewatinya, hingga yang tersisa adalah senyum bahagia. Kamupun seharusnya
sama.”
Percakapan-percakapan
di atas sering dia lakukan untuk membuatku berpikir dan pelan-pelan justru
membuatku menyadari bahwa ketakutan ini ada justru menandakan bahwa kita ini
tidak besar kepala. Ketakutan dan kecemasan akan sebuah harapan pasti akan
selalu ada, tapi dia mengajarkan aku bagaimana untuk mengelolanya.
Dan di senja
hari ini di taman ini aku ingin mengungkapkan rasa terima kasihku kepadanya.
Dimanapun dia berada, semoga semesta menjaga senjanya agar selalu indah.
Komentar
Posting Komentar