Empat Sekawan 2
Baru
beberapa kayuhan sepeda dari aku meninggalkan gerombolan bunga pukul empat.
Tiba-tiba tetesan-tetesan air mulai mengenai wajah dan tanganku.
“Hujan ? “ batinku karena tidak
percaya.
Tetesan-tetesan air itu tiba-tiba
menjadi gerombolan yang siap membuatku basah kuyup. Gerombolan air itu turun
mendatangiku sambil berteriak
“Hai gadis muda, kami memang hujan.
Minggir jika kau tidak ingin baju dan badanmu basah. Awas. Minggir. Berteduh.”
Pikiranku tersadar mendengar
teriakan mereka dan langsung aku mencari tempat berteduh, terdekat yang bisa
kutemukan. Akhirnya aku memilih sebuah warung kecil untuk tempatku berteduh
karena selain tempat terdekat, warung itu juga menyediakan makanan-makanan
ringan yang kupikir bisa menemaniku sampai hujan reda. Setelah memarkirkan
sepedaku di depan warung tersebut, aku langsung masuk dan membeli es krim yang
ada di sana. Ketika aku mau membayar es krim ku
“Neng, kok hujan-hujan begini malah
beli es krim. Memangnya tidak dingin ?” tanya Ibu kasir yang sekaligus pemilik
warung kepadaku.
Dengan wajah kaget dan bingung aku
menjawab “Oh, iya Bu. Sedang pengin saja makan es krim”. Setelah mendapatkan
uang kembalian aku langsung keluar warung dan duduk di bangku yang disediakan
untuk para pembeli yang ingin nongkrong-nongkrong.
“Memang
apa salahnya makan es krim ketika hujan ? Memang ada peraturannya dilarang
makan es krim ketika hujan ?” ucapku sambil membuka bungkus es krim.
“Tidak
ada. Hanya saja itu jarang dilakukan.”
“Siapa
itu ?”
“Kami
di depanmu.”
“Siapa
? Tidak ada siapa-siapa di depanku. Siapa kalian ?”
“Ini
kami, lihat. Hai. Ini kami.”
Aku
kaget melihat hujan melambai-lambaikan tangannya ke arahku agar aku bisa
melihat keberadaan mereka.
“Kalian
bicara padaku ?” dengan bodohnya aku bertanya seperti itu.
“Memang
ada orang lain di sini selain kamu gadis muda ?” jawab mereka sambil terkekeh.
Selain
gerombolan bunga pukul empat ternyata aku harus bertemu dengan gerombolan air
yang menyebut diri mereka sebagai hujan. Ya, aku pikir sore itu aku sedang
bernasib kurang baik. Coba saja, aku tidak berlagak seperti cenayang. Aku pasti
tidak akan bertemu dengan mereka-mereka itu. Aku tidak harus terjebak di depan
warung sampai entah kapan.
“Hei,
gadis muda. Kamu sedang memikirkan apa ?” tanya hujan
“Aku
sedang tidak memikirkan apa-apa. Bisakah kalian berhenti turun ? Aku ingin
segera pulang ke rumah.”
“Hahahahaha.
Tidak bisa gadis muda. Tidak ada yang bisa menghentikan kami selain waktu. Kami
sendiri saja tidak bisa mengatur diri kami. Kapan harus turun, kapan harus
reda. Apalagi kamu, tidak bisa.”
Aku
asyik saja memakan es krim ku tanpa mempedulikan perkataan mereka. Sudah cukup
aku dibuat bingung oleh gerombolan bunga pukul empat. Aku tidak ingin merasakan
hal yang sama untuk kedua kalinya. Sekali saja aku sudah tidak paham apalagi
dua kali, bisa-bisa aku harus minum obat 3 kali sehari karenanya.
“Hei
gadis muda. Halo. Kami tahu kamu mendengar kami. Oke kalau kamu tidak ingin
berbicara dengan kami.”
Tiba-tiba
hujan semakin besar dan disertai angin kencang. Kemudian terdengar suara lagi.
“Bagaimana
gadis muda, ingin bicara dengan kami atau kami akan..”
Belum
sempat mereka meneruskan kalimatnya aku langsung berkata “Iya, iya.. Aku akan
berbicara dengan kalian.” Aku langsung meng-iyakan karena aku tidak mau baju
dan badanku basah karena hujan. Mau tidak mau aku harus mau bukan. Akhirnya
hujan kembali ke keadaan semula meski tetap, mereka tidak mau berhenti juga.
“Katanya
kalian tidak bisa mengatur diri kalian sendiri. Tadi apa itu ? Kalian membuatku
hampir basah kuyup.”
“Kami
memang tidak bisa mengatur diri kami gadis muda. Tadi kami mengadukan kepada
Sang Waktu bahwa ada seorang gadis muda yang tidak mempedulikan kami. Akhirnya
Sang Waktu membantu kami untuk membuat kamu mau berbicara pada kami, angin juga
tadi datang membantu kami.”
“Jahat
sekali Sang Waktu. Memangnya aku tidak boleh melakukan hal yang aku sukai.
Harus aku berbicara padahal aku sedang tidak ingin membahas apapun ?”
“Begini
gadis muda, kami justru ingin membantumu. Kamu sendirian. kami ingin menemanimu
sampai Sang Waktu mengijinkan kami untuk reda.”
“Aku
tidak minta bantuan kalian. Aku tidak meminta kalian untuk menemaniku.”
“Kamu
memang tidak memintanya. Tapi bukankah jaman sekarang semuanya harus dituntut
untuk peka ? Kami hanya berusaha untuk itu.”
“Peka
? Heem.. Ya sudah. Apa yang kalian ingin bicarakan denganku ?” dengan terpaksa
akupun menuruti kemauan mereka. Dan akupun bingung darimana mereka mengerti apa
itu peka.
“Gadis
muda, kami tahu kalau sebagian manusia kadang tidak menyukai kami ketika turun
ke bumi. Mereka melihat kami sebagia kendala, hanya hambatan ketika mereka
ingin melakukan aktivitas. Seperti kamu ini gadis muda.”
“Aku
?” lagi-lagi aku dibuat terbelalak atas perkataan mereka. “Iya lalu ?”
“Tapi
sebagian manusia lain sangat gembira ketika kami hadir, kami disambut dengan
penuh syukur. Sesuatu hal yang tidak disukai kehadirannya oleh sebagian manusia
bisa menjadi alasan sebagian manusia lain bersyukur dan menjadi alasan mereka
untuk tersenyum. Dan senyum serta syukur mereka yang membuat kami akhirnya
tetap datang walau sering kami harus menerima keluhan bahkan makian.”
“Kalian
tidak marah kepada manusia atas keluhan dan makiannya ?”
“Sang
Waktu tidak mengijinkan kami untuk itu, ‘ikuti saja perintahku, biar waktu yang
menentukan’ begitu katanya. Jadi kami hanya menurut saja. Toh kata kalian
manusia kan sering mengungkapkan ‘semua akan datang di waktu yang tepat’.”
“Kalian
memang mengerti apa yang diungkapkan dan dilakukan manusia ?”
“Ya
kami mengerti, karena kami juga memiliki perasaan gadis muda. Bahkan tidak
hanya kami, tanah, batu, dan apapun yang ada disekitar kalian memiliki
perasaannya masing-masing. Pesanku, jaga dan sayangi apapun yang ada di
sekitar, bahkan pada benda yang kamu anggap tidak memiliki perasaan ya gadis
muda. Sudah waktunya kami untuk pamit, Sang Waktu sudah memanggil kami.”
“Hah....?”
aku terbelalak lagi karena ya semuanya serba tiba-tiba, tiba-tiba mereka
mengajakku bicara, belum sempat aku menanggapi perkataan mereka tiba-tiba sudah
pergi saja.
“Gadis
muda, kami akan turun lagi jika Sang Waktu mengijinkan. Sampai jumpa, jangan
lupa tersenyum dan bersyukur ketika kami datang. Dadaaaaah......” mereka
melambaikan tangan ke arahku sambil berjalan ke atas, ke atas, dan tiba-tiba
mereka lenyap.
Aku
hanya tersenyum dan ikut melambaikan tanganku juga. Tidak ku sangka perjalanan
soreku yang tadinya aku anggap musibah ternyata menjadi perjalanan yang luar
biasa. Aku berjanji akan menyambut hujan dengan suka cita agar mereka juga senang
berjumpa denganku lagi. Dengan genangan-gennagan air yang masih tersisa di
sepanjang jalan akhirnya aku pulang mengayuh sepedaku dengan perasaan yang sulit untuk
didefinisikan.
Komentar
Posting Komentar